Siti Zulaikah,
demikianlah nama salah satu pengarajin tas oblong yang masih bertahan saat ini.
Dengan berkembangnya berbagai produk yang muncul dipasaran, tak menghilangkan
semangatnya untuk tetap memroduksi tas oblong. Meski pendapatan tak sebanding
dengan modal yang ia pegang, hal itu tak membuatnya untuk berhenti membuatny
(tas oblong.red).
Campursari Jetis
Ponorogo, di situlah mayoritas penduduknya masih melestarikan pembuatan tas
oblong. Setiap harinya mereka memmroduksi dan akan diambil perminggunya oleh
pengepul yang memasarkan barang mereka.
Namun
disayangkan sekali, dibalik semangat mereka untuk tetap mempertahankan
kerajinan asli buatan mereka. Ada kurangnya perhatian dari pemerintah Ponorogo.
Dan yang sangat dikecewakan, ketika pemesan tas oblong kebanyakan adalah dari
daerah atau kota lain. Yaitu kota Sidoarjo dan kota lainnya, dimana kota
tersebut memesan tas oblong dengan jumlah banyak yang bakal dijadikan khas
untuk daerah mereka sebagai oleh-oleh wisata . Bukankah hal ini sangat membuat
hati kita khususnya warga Ponorogo miris. Bagaimana tidak? Sebuah hasil karya
daerah sendiri dibeli dan dipasarkan oleh daerah lain dan dijadikan sebagai
khas oleh-oleh daerah mereka. Apakah kita sebagai warga Ponorogo akan tetap
diam setelah melihat fenomena seperti ini ? Tidak bukan?
Spekulasi
tentang Tari Reog beberapa waktu silam sudah bisa menjadi pelajaran besar untuk
kita atas pentingnya perhatian dengan menjaga hasil karya sendiri . Dalam hal
ini, kita bisa mencontoh semangat dari ibu Siti Zulaikha dan seluruh pengrajin
tas oblong yang berada di desa Campursari Jetis Ponorogo. Jika saja pemerintah
bisa mengelola para pengrajin tersebut, akan lebih memudahkan dari segi
pemasaran dan tingkatan harga jual barang yang lebih sepadan dan setara secar
keseluruhan.
Saatnya kita
bergerak dan bangkit lagi, menumbuhkan semangat dengan rasa cinta akan sebuah
kesenian dan karya negeri. Jangan sampai muncul semboyan" Lumbung tetangga
lebih menguntungkan, daripada lumbung sendiri". Tapi ciptakan gebrakan yang
menjadikan "Lumbung sendiri sangat lebih berharga daripada lumbung
sebelah".
Penulis :
Tri Wahyu Laila
Sari (Kader KAMMI Fiisabilillah Ponorogo)
Mahasiswi STKIP
PGRI Ponorogo
Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
0 comments:
Posting Komentar