dakwatuna.com - Di Jalan dakwah kita menemukan banyak akhwat dengan
intensitas kesibukan tinggi bahkan di atas rata-rata. Mengawali paginya
dengan rapat, kegiatan seminar, bakti sosial, up grading pengurus,
menjadi panitia, membina adik-adik liqa’ nya, menghadiri liqa’ nya
sendiri, lalu rapat lagi dan sederet aktivitas lainnya. Kesibukan demi
kesibukan yang sangat sangat dicintainya itu membuatnya semakin kokoh
berpijak di jalan dakwah.
Namun karena kesibukan yang teramat padat di luar sana, ia tidak sempat
untuk memasak di dalam dapurnya dan lebih sering hanya membeli masakan
di warung. Perlahan kemudian ia menjadi hilang di dapur, tidak bisa dan
bahkan malas untuk memasak. Kalaupun ada itu hanya sekadar memasak nasi
di magic jar atau merebus mie instan. Merekalah yang kemudian kokoh
berdiri di jalan dakwah tetapi berguguran di dapur.
Padahal memasak adalah skill yang seharusnya dimiliki oleh seorang
akhwat. Bagi sebagian kalangan kadang ini terlihat seperti hal yang
sepele, tapi sesungguhnya memasak itu adalah jihad. Bukankah Rasulullah
pernah bersabda bahwa jihad seorang wanita adalah di rumahnya? Mengurus
rumah tangga, termasuk mengasuh anak dan memasak adalah ladang jihad
bagi wanita. Semua tidak akan sia-sia bila dilakukan dengan ikhlas dan
diniatkan untuk ibadah.
Keahlian dalam memasak adalah pembeda yang unik, ia adalah salah satu
magnet yang mendekatkan seorang suami dengan rumahnya. Meskipun ia
menemukan banyak makanan yang terlihat enak di luar, ia tetap akan lebih
menyukai masakan yang ada di rumah. Karena ia mengetahui siapa yang
memasaknya, mengetahui akan kebersihannya dan mengetahui dengan uang apa
itu semua dibeli. Akhwat yang mampu memasak jika telah berkeluarga maka
ia akan menjadi perekat di keluarganya, ia menjadi faktor yang
membahagiakan suami dan anak-anak melalui masakan yang dibuat.
Selain itu, seorang akhwat jika bisa memasak maka saat ia berperan
sebagai seorang istri, ia akan mampu menghemat pengeluaran keluarga.
Tapi jika tidak mampu memasak dan hanya mengandalkan masakan yang dijual
di warung, maka itu akan menyebabkan pengeluaran yang besar di
keluarga.
Harga satu porsi masakan standar yang dijual di warung berkisar Rp. 8000
– Rp. 15.000. Kita ambil harga pertengahan saja: Rp.10.000, maka
bayangkan berapa anggaran dana yang dibutuhkan oleh satu keluarga dengan
3 orang anak untuk makan 3 kali dalam 1 hari yaitu 5 x 3 x Rp. 10.000 =
Rp. 150.000 / hari. Dalam sebulan dibutuhkan dana sebesar; Rp. 150.000 x
30 hari = Rp. 4.500.000. Woow 4,5 juta sebuah angka yang fantastis,
hanya untuk makan. Angka sebesar itu bagi seorang istri yang cerdas dan
bisa memasak bisa dibelikan ke berbagai bahan mentah untuk membuat lebih
banyak variasi masakan, tentu saja untuk jangka waktu yang juga lebih
lama.
Memang tidak kita pungkiri bahwa ada banyak keluarga ikhwah dengan
penghasilan yang besar, Alhamdulillah, sehingga jumlah uang 4,5 juta
untuk membeli makanan bagi mereka adalah kecil. Bahkan sebagian mampu
menyediakan pembantu yang ditugaskan untuk memasak di rumah. Tidak ada
yang salah dengan itu, hanya saja ada kehangatan yang hilang di meja
makan. Ketika masakan yang dibeli atau dimasak pembantu begitu enak,
seorang suami atau anak-anak akan berkomentar, “wah masakan si mbok enak
banget ya...”. Akan terasa beda jika komentar yang muncul adalah, “wah
masakan ummi enak banget… besok masak lagi ya mi…”. Tuhh kan beda.
Maka tidak ada alasan bagi akhwat untuk tidak bisa memasak, apalagi
ketika ia telah menjadi seorang istri. Tidak harus mahir, bisa memasak
saja sudah cukup. Asin-asin sedikit tidak apalah, tetap akan masih
dipuji oleh seorang suami yang beriman. Tidak sehebat koki pun tak
masalah, asal ada kemauan untuk terus belajar. Apalagi di zaman serba
canggih, resep masakan apa saja tinggal cari di Google.
Kunci rahasia untuk memasak itu hanya satu, berlatih. Karena hakikatnya
memasak adalah suatu keahlian. Pelajari memasak secara bertahap mulai
dari level rendah sampai level tinggi, contoh mulailah dengan membuat
gorengan – tumisan – asam padeh – gulai – kalio dan terakhir rendang,
sebuah masakan dengan level tersulit di Padang. Jangan pernah putus asa
ketika ada gorengan yang hangus, tumisan yang hambar, gulai yang asin
dan kehancuran fatal lainnya dalam memasak, itu semua biasa saja.
Sungguh tidak ada kata terlambat untuk belajar, apalagi untuk belajar
memasak. Belajarlah untuk membedakan mana jahe mana lengkuas, mana
merica dan mana ketumbar, supaya tidak menjadi akhwat-akhwat yang
berguguran di dapur.
0 comments:
Posting Komentar