Bismillahirrohmaanirrohiim,,,
Apa
yang terlintas di benak Anda ketika mendengar orang yang menikah tanpa
didahului oleh aktivitas pacaran sebelumnya? Hmm,, ga banget dech ya
kayaknya? Tapi itu nyata terjadi lowh. Kenapa kok bisa ya? Apakah memang
sedemikian beraninya sehingga siap mengorbankan kebahagiaan selama
hidupnya dengan orang yang sebelumnya pernah ia kenal, ataukah memang
karena dijodohkan oleh orang tuanya sehingga mau tidak mau ya harus
menikah dengan pilihan keluarganya tersebut. Hmm, mungkin jawabannya
akan tertemukan ketika Anda terus saja menelusuri tulisan ini hingga di
bagian akhir nanti. Siap untuk belajar bersama Pembelajar Sepanjang
Zaman? Let’s check it out Kawan ^_^
Apa sich pacaran itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Edisi Ketiga, 2002:807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis
yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran
adalah bercintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang pacar). Tapi
paling tidak, yang dipahami kebanyakan orang saat ini, pacaran adalah
sebuah aktivitas wajib yang harus dijalankan untuk menempuh jenjang yang
lebih serius, yakni di gelanggang pernikahan kelak. “Orang yang pacaran
selama bertahun-tahun saja bisa tidak kuat menahan gelombang godaan
ketika sudah menikah, apalagi yang tidak pernah pacaran sebelumnya,
bisa-bisa akibat perbedaan yang begitu banyak di antara pasangan, maka
terjadilah perceraian meski baru menjalani pernikahan beberapa bulan
saja”, begitulah pendapat umum yang dilontarkan banyak orang ketika
menanggapi fenomena pernikahan tanpa pacaran ini.
Hm,,
lagi-lagi kita harus dituntut untuk berpikir dua kali untuk mengolah
informasi mengenai menikah tanpa pacaran ini. Baiklah, mari kita tinjau
sama-sama ya ^_^
- Sejatinya, manusia (baik laki-laki maupun perempuan) yang dituntut darinya adalah sebuah kesiapan lahir (fisik sehat, mencapai kematangan secara biologis, serta mempunyai penghasilan sendiri) dan batin (mampu secara psikologis, siap untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, dan siap mengurus anak-anaknya kelak)
- Perbaikan kualitas diri sebagai takaran penting dalam memilih pasangan hidup. Kualitas ini ditekankan pada akhlak yang bagus, paham agama, dan senantiasa mau untuk berdakwah kepada masyarakat umum
- Ada mekanisme yang sudah dibangun untuk memungkinkan adanya suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa didahului dengan aktivitas pacaran
- Aktivitas pacaran sangat tidak dianjurkan dan bahkan dilarang dalam Islam karena memang lebih mendekatkan diri kepada perbuatan maksiat (baca: zina)
- Kehormatan diri seorang laki-laki/perempuan menjadi tidak terjaga dengan adanya aktivitas pacaran
Nah,
sebuah perasaan suka pada lawan jenis adalah suatu hal yang wajar,
namun kewajaran itu juga ada waktu dan tempatnya. Allah menjadikan
perasaan “suka” itu sebagai fitrah yang dapat dirasakan kenikmatan
manisnya jika diwujudnyatakan secara benar sesuai dengan tuntunan-Nya.
Selanjutnya, akan saya jelaskan mengenai kelima poin di atas supaya
jelas maksud dan maknanya.
“Sejatinya,
manusia (baik laki-laki maupun perempuan) yang dituntut darinya adalah
sebuah kesiapan lahir (fisik sehat, mencapai kematangan secara biologis,
serta mempunyai penghasilan sendiri) dan batin (mampu secara
psikologis, siap untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, dan
siap mengurus anak-anaknya kelak)”
Lahir
dan batin adalah komponen yang wajib seiring seirama untuk dipenuhi.
Fisik yang matang, mampu hidup mandiri secara materi, kemudian kesiapan
psikologis yang tidak dimanipulasi, serta sebuah perhatian khusus atas
siapnya berbagi dengan pasangan dan mengurus anak di masa depan kelak
adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menuju sebuah panggung
pernikahan. Bukan dengan coba-coba dan gonta-ganti pasangan, itu bukan
suatu cara persiapan yang benar cara tempuhnya. Namun, persiapkan dengan
berbagai macam aktivitas dan kegiatan yang mengarah padanya. Jika
Engkau adalah seorang lelaki, maka mulailah untuk mandiri ketika sudah
baligh, perempuan pun demikian, sikap mandiri sudah mulai harus dipupuk
sejak dini. Kedewasaan akan terbentuk dengan banyak berinteraksi,
interaksi yang umum untuk menempa diri adalah dengan bergabung di dalam
sebuah organisasi, di sana kita belajar tentang kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan penyelesaian konflik internal. Itu semua akan
cukup membentuk diri yang siap secara lahir dan bathin.
“Perbaikan
kualitas diri sebagai takaran penting dalam memilih pasangan hidup.
Kualitas ini ditekankan pada akhlak yang bagus, paham agama, dan
senantiasa mau untuk berdakwah kepada masyarakat umum”
Allah telah berfirman dalam kitab-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”
(Q.S Adz-Dzaariyaat 56). Jadi, hal utama yang dipersiapkan oleh seorang
hamba kepada Tuhannya adalah dengan taat beribadah sesuai tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Begitupun dengan pernikahan, ia
adalah sebuah upaya untuk menjadi jalan akan semakin mendekatnya kita
kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Karena itulah, agar pernikahan yang
nantinya terjalin adalah sebuah pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan
warahmah, maka persiapkan diri kita sendiri untuk menjadi seorang
manusia yang berkualitas, banyak ilmu, dan mau menyampaikannya kepada
masyarakat luas.
“Ada
mekanisme yang sudah dibangun untuk memungkinkan adanya suatu
pernikahan yang dilaksanakan tanpa didahului dengan aktivitas pacaran”
Mekanisme
yang dilakukan adalah dengan cara ta’aruf. Ta’aruf dapat kita
laksanakan dengan difasilitasi oleh Murobbi, Orang tua, Teman karib,
atau bahkan Tetangga. Di sini saya tidak akan menjelaskan tentang
Ta’aruf secara lengkap, namun hanya akan menjelaskannya sebagai bagian
dari proses syar’i yang dirancang untuk mewujudkan pernikahan tanpa
pacaran. Saya ambil contoh ketika difasilitasi oleh seorang Murobbi,
maka kita yang sudah merasa siap untuk menikah boleh menyetorkan biodata
beserta foto diri. Dari sana akan terseleksi secara alami (laki-laki
tersebut akan mendapatkan biodata-biodata perempuan yang juga sudah siap
menikah), jika dia cocok, maka akan diadakan pertemuan lanjutan. Eits,
tapi bukan hanya dari satu sisi saja lowh ya, jika perempuan yang
dimaksud oleh sang laki-laki tersebut ternyata tidak berkenan untuk
bertemu, maka tidak bisa dilaksanakan pertemuan tersebut. Pertemuan itu
sendiri sejatinya merupakan pertemuan Ta’aruf (saling mengenal) yang
aktivitas di sana hanya boleh berbincang-bincang seputar kehidupan
sehari-hari yang tidak terlalu masuk pada hal yang privat. Setelah
pertemuan tersebut sama-sama merasa cocok, maka selanjutnya sang
laki-laki langsung melamar sang perempuan ke orang tuanya. Kemudian,
terjadilah pernikahan yang diidam-idamkan.
“Aktivitas
pacaran sangat tidak dianjurkan dan bahkan dilarang dalam Islam karena
memang lebih mendekatkan diri kepada perbuatan maksiat (baca: zina)”
Dari
sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dahulu memang tidak
pernah dikenal aktivitas pacaran seperti zaman sekarang ini.
Orang-orang dahulu teguh memegang budaya “malu” dan tentu saja Allah
Subhanahu Wata’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk menjaga interaksi
antara laki-laki dan perempuan dalam koridor-koridor tertentu. Dan
seperti yang kita lihat sekarang ini, pacaran yang terjadi selalu saja
disertai dengan pegangan tangan dan bergandengan, mencium tangan,
berangkulan, cium pipi, dan sudah terbukti banyaknya kasus yang
berlanjut hingga hubungan badan. Sudah barang tentu ini suatu kerusakan
moral yang luar biasa yang sepertinya sudah dianggap biasa oleh
masyarakat kita.
“Kehormatan diri seorang laki-laki/perempuan menjadi tidak terjaga dengan adanya aktivitas pacaran”
Istilah
perawan sebenarnya tidak bisa dinilai hanya secara fisik saja (tanda
yang paling umum ketika dikatakan perawan adalah ketika hubungan pertama
kali, maka akan keluar darah dari (maaf) Miss V seorang isteri). Tapi
hakikat sesungguhnya, Islam mengajarkan bahwa sebuah keperawanan itu
adalah sebuah kehormatan yang patut dijunjung tinggi oleh para
pemiliknya. Aktivitas menjaga untuk saling bersentuhan, tidak terlalu
lama berpandangan antara lawan jenis, apalagi aktivitas lain yang
arahnya menaikkan libido baik laki-laki maupun perempuan. Itu semua
tidak dianjurkan adalah untuk menjaga kehormatan dirinya. Dan kita bisa
lihat dalam kenyataan kita hari ini, aktivitas pacaran hampir tidak ada
yang menaikkan kehormatan, yang ada adalah merendahkan kehormatan dengan
banyaknya aktivitas saling menjamah, baik sekedar bergandengan tangan
hingga berciuman dan aktivitas hubungan badan.
Kemudian,
aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal) mengatakan akan adanya Pacaran
Islami, sebuah pacaran yang diperbolehkan oleh Islam dan bahkan sangat
dianjurkan. Ups, ya memang beginilah pemikiran orang liberal, Islam
dipahami hanya dengan akal, namun dalil syar’i yang seharusnya menuntun
akalnya tersebut tidak pernah dipakai seakan-akan dia bukanlah seorang
muslim yang patut mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai pedoman
hidupnya. Mengenai istilah Pacaran Islami ini memang perlu pembahasan
yang panjang, namun hemat saya di sini, dengan tegas saya mengatakan
bahwa tidak ada Pacaran Islami seperti yang dikhayalkan oleh orang-orang
liberal itu.
Nah, jadi jawaban dari pertanyaan, “Menikah Tanpa Pacaran, Mungkin Ga Sich?” jawabannya adalah “Sangat Mungkin dan Itu Pasti Terjadi” ^_^
NB: Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini http://bocahbancar.wordpress.com/2011/12/28/menikah-tanpa-pacaran-mungkinkah/
0 comments:
Posting Komentar