215240_497724073628469_1982152807_nHadis ini, dijelaskan dalam buku Sunah, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban karya Yusuf Qardhawy (2001), kerap diselewengkan. Hadis ini sering menjadi tameng bagi mereka (semoga kita tidak) yang ingin meliberalkan (membebaskan) diri dari aturan Islam. Seolah-olah, kita berbuat seenaknya itu dilegalkan dengan berpegang pada hadis ini semata.


Dalam sebuah kisah, sahabat pernah menanyakan pendapat Rasul perihal pengawinan pohon kurma. Saat itu Nabi berkata, “Saya tidak mengira itu akan mendatangkan hasil.” Dalam konteks ini, beliau tidak mendalilkan itu sebagai perintah, larangan, ataupun berita dari Allah. Dari kisah ini kita mengenal hadis yang Rasul tuturkan yakni “Antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian).


Kita sering merasa menjadi pihak yang paling mengerti urusan kita. Benar, lantaran kitalah yang merasakan, mengetahui, dan mengalami sendiri setiap jengkal urusan kita. Demikiankah?


Misal saja, ada pihak-pihak yang merasa tiada perlu pengaturan syariat pada aspek muamalah, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya lantaran berpegang secara salah pada hadis ini. Mereka mersa cukup menggunakan logika dunia saja dalam penyikapan dalam aspek-aspek bidang tersebut. Adapun ketika diajak menyeriusi tentang syariat dalam hallain mereka enggan mengambil dan berpegang pada hadis. Seolah-olah, hanya ayat atau hadis yang ‘menguntungkan’ mereka sajalah yang diambil, dianut, dilaksanakan, dan disebarkan.
Sebenarnya, apa makna hadis tersebut? Dalam buku Yusuf Qadhawiy dipaparkan bahwa maksud hadis tersebut jelas, bahwa agama tidak ikut campur tangan urusan manusia yang sifatnya terdorong oleh insting kebutuhan duniawi manusia kecuali jika tindakan tersebut berlebihan dan rawan penyelewengan. Agama ikut campur tangan menyatukan gerak seluruh manusia -hingga pada level yang sifatnya insting, kebutuhan , dan tradisi- pada tujuan tertinggi menuju ridha Allah.
Dicontohkan misalnya, dalam hal peperangan. Islam memberi batasan mengenai tujuan perang, memerintahkan kesiapan, antisipasi serangan musuh, serta pengerahan segenap daya dan kemampuan dalam perang. Hal initersebut dalam QS An Nisa ayat 71 dan 102, juga Al Anfal ayat 60.
Rasul pun bersabda, “Barangsiapa berperang dengan tujuanuntuk memperjuangkan kalimat Allah agar memperoleh kemenangan, maka ia sedangberjuang di jalan Allah.”
Mengenai batasan perang yakni tidak melampaui batas, juga Islam atur (Al Baqarah ayat 190). Sedangkan berkaitan dengan macam senjata, pembuatannya, pelatihan dan penggunaannya, adalah menjadi ranah hak kita dalam berstrategi dan membaca medan. Prinsip, hakikat, dan tujuan perang itulah yang menjadi wilayah yang diatur Islam kita.
Hadis yang Rasul sampaikan tersebut bukan merupakan dalih untuk menghilangkan sunah atau aturan pada aspek lain. Bukan. Memahaminya mesti juga menyorot dari aspek sebab dan konteks hadis tersebut. Jangan sampai kita terjebak pada pola pikirtajam logika tanpa nash yang demikian itu. Al Quran dan Sunnah adalah pola hidup, pedoman, yang lengkap dan sempurna. Di dalamnya meramu ruh dan materi, memadukan akhirat dan dunia, serta sebagai pengendali segenap hidup dengan aturan-aturan Allah. Namun juga Islam tidak sama sekali menutup ruang upaya (ijtihad) bagi urusan manusia. Itulah indahnya Islam.
Insafilah, barangkali kita masih kerap menyetandarkan segala dalam hidup kita dengan pertimbangan pribadi kita semata. Mimpi dan terget kita, aktivitas, ideologi, gerak, dan lain sebagainya kita pacu untuk mencapai target-targetdunia yang nampak ‘wah’ di sisi manusia namun lupa untuk menyelaraskannya ataumenyandarkannya pada standar Allah yang sejati.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis : Sofistika Carevy Ediwindra
Sekertaris Umum Kammi Komisariat Madani
Gambar 

0 comments:

Posting Komentar