Gaung produktivitas perempuan terdengar nyaring. Namun, kencangnya gaung seringkali berbenturan dengan tradisi agama dan budaya patriarkis yang masih kentara. Produktif dalam arti menghasilkan yang dilakukan perempuan dalam konteks kekinian telah melebur. Kiprahnya tidak hanya pada tataran dunia bisnis dan urusan domestik rumah tangga. Namun mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk kelihaian mereka melakukan diplomasi.
Kaum perempuan akan semakin menampakkan kebolehannya saat tata aturan yang membatasi tidak lagi dihiraukan. Tidak hanya pengaruh positif, terlebih dampak negatif. Agama dan adat ketimuran bias tanpa pengamalan kecuali oleh segelintir orang, hanya berupa lips service yang menghiasi khasanah diskusi, seminar dan bahan mata pelajaran.
Alkisah, dalam suatu tatap muka perkuliahan pembahasan etika. Terjadi perseteruan antara beberapa mahasiswa dalam persentasi makalah. Salah satu peserta pembanding adalah Madona. Dona, demikian akrab namanya dipanggil. Ia perempuan trendi masa kini yang acapkali menggunakan rok mini, lengkap dengan riasan kosmetik dan bagian dada sedikit terbuka.
Dalam sesi tanya jawab, Dona mengacungkan tangan sebagai pertanda lontaran pertanyaan yang akan diajukan. “Apa tanggapan kelompok anda terkait budaya Barat yang dengan gamblang kita sebagai kaula muda menirunya? Padahal, Indonesia dengan adat ketimuran menjunjung tinggi nilai kesopanan. Namun, tidak ada batasan “sopan” yang dimasud. Sehingga model pakaian seperti yang saya gunakan pun saya anggap masih sopan”.
Pais, dalam tanggapan kelompok tanpa beban mengungkapkan bahwa hal demikian kembali kepada pribadi /individu masing-masing. Karena merupakan hak asasi manusia untuk berkreasi selama nyaman untuk digunakan.
Hal ini dikuatkan dengan argumentasi Immanuel Kant yang menegaskan teori hak (right theory) yaitu suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). Tandas Pais penuh semangat.
Tidak ingin kalah, Rizal selaku moderator menambahkan bahwa salah satu otoritas (Weiss, 2006) hak moral kemanusiaan adalah (moral, human right) yang berarti berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang hal itu tidak melanggar hak-hak orang lain.
Ditengah diskusi yang mengarah kepada pembenaran etika buruk berpakaian kebanyakan pemudi yang tanpa sadar menurunkan moral bangsa. Dosen pengampu mata kuliah masih tenang mengamati jalannya diskusi.
Kegemingan suasana belajar mendorong Nurul, mahasiswa yang kental dengan adat ketimuran untuk menyuarakan pendapat. “Berdasarkan teori utilitarianisme yang dipelopori oleh David Hume menjelaskan suatu tindakan disebut etis bila mampu memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat. Dan suatu tindakan disebut tidak etis bila akibatnya lebih banyak merugikan sebagian besar anggota masyarakat.
Lekat di benak kita ungkapan yang popular dalam dunia sosial yaitu “the greatest happiness of the greatest number”. Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi atau tujuan dari tindakan itu. Apakah memberi manfaat atau tidak.
Jadi, pakaian Saudari Dona hendaknya kita tilik tidak hanya pada kenyamanan pribadi tanpa peduli konsekuensi, akan meningginya tindak kriminalitas yang terjadi, gejala kenakalan sosial remaja, eksisnya seks bebas dan pudarnya pesona wajah Indonesia di mata dunia.
Mungkin Saudari Dona tidak merasakan langsung akibat pakaiannya, namun bagi laki-laki yang melihat dan menimbulkan keinginan syahwat dapat melampiaskan kepada perempuan lain saat peluang terbentang. Tadi Saudari sampaikan bahwa Indonesia dengan adat ketimuran tidak memiliki batasan “sopan”, hemat saya sebagai kaum terpelajar kita perlu memfilter, menyaring hal mana yang berdampak kebaikan untuk kemajuan Indonesia”.
Suasana ruangan tegang dengan penguatan argumentasi Nurul yang menyanggah argumentasi sebelumnya. Namun, dosen mematahkan penjelasan Nurul dengan dalih tidak ada peraturan yang menyalahkan tindakan perempuan semisal Saudari Dona. Jadi dalam hal ini, sah-sah saja berpakaian seperti itu sepanjang Negara sendiri tidak mempermasalahkannya.
Pandangan Masyarakat
Cerita di atas adalah kisah nyata yang sering kali menjadi diskursus oleh kalangan mahasiswa. Sungguh miris saat mempelajari ideologi yang tanpa sadar mencemari paradigma berpikir terutama kaum intelektual. Lahirlah para lulusan yang liberal memandang enteng kebiasaan manusia menjadi sebuah kebenaran.
Masyarakat Indonesia dominan untuk meniru dan memodifikasi bukan melakukan inovasi, termasuk dalam hal pakaian perempuan. Kebiasaan perempuan masa kini dengan mengumbar tubuh dianggap benar, ciri kebanggaan oleh sebagian orang.
Karakter seseorang ditentukan oleh kebiasaan yang terbentuk dengan tindakan berulang-ulang. Tindakan yang berulang-ulang ditentukan oleh tujuan /makna hidup yang ingin dicapai. Dan makna hidup ditentukan oleh paradigma berpikir.
Berdasarkan asumsi ini maka manusia cenderung menjadikan kesenangan/ materi dunia sebagai tolak ukur kebahagiaan. Terbukti dengan tingkah laku manusia yang mengabaikan agama sebagai basis adanya kehidupan akhirat.
 “Dulu pada tahun 1980 an, tabu saat ada laki-laki dan perempuan duduk berdekatan. Apalagi pegangan tangan. Maka siapapun yang melakukan akan dikucilkan dalam masyarakat” Demikian kisah yang dituturkan dari Mbak buyut. Seorang nenek tua yang berceloteh masa mudanya.
“Sekarangkan zamannya dah beda”, demikian sanggahan kita terkait penuturan si Mbah. Namun tidakkah kita berpikir bahwa pergeseran yang terjadi sangat jauh dan merendahkan kehormatan seseorang. Membalikkan tata nilai kebenaran dan memanipulasi semua keadaan.
Wal hasil yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Pakai rok mini, pakaian ketat, budaya pacaran hingga mojok di perempatan jalan adalah hal wajar yang seolah dianggap benar. Sedangkan dianggap salah jika ada pemuda yang langsung menikah tanpa pacaran, maka masyarakat akan menganggap sudah “hamil” duluan. Hal ini terjadi karena pacaran seperti sebuah keharusan untuk medapatkan jodoh. Perlahan menjadi sebuah kebenaran dalam tatanan bermasyarakat.
Masalah besar moral adalah kumpulan dari masalah- masalah kecil yang menumpuk. Berawal dari hal yang dianggap sepele dan membenarkan yang salah. Sedari kecil anak dibiarkan menonton televisi yang berbaur pacaran bahkan ciuman, walaupun dilakukan oleh film karton. Orang tua tidak risih melihat sang anak mengikuti nyanyian dan jogetan orang dewasa yang menyinggung soal cinta dan seks walaupun si anak tidak tau apa maksudnya.
Sampai SD anak mulai disibukkan dengan model pakaian terbuka yang sering dibelikan orang tua, pacaran kecil-kecilan menjadi hal wajar. Tidak hanya itu, kondisi orang tua dan masyarakat yang biasa mencibir, berkata kotor dan sejubel kebiasaan buruk, itulah yang kemudian masuk dalam memori anak.
Hingga SMP anak mulai masa pubertas. Awalnya hanya pacaran biasa yang dibiarkan orang tua. Lalu tanpa kontrol yang ketat dari guru dan keluarga, si anak tak jarang hingga menghilangkan keperawanannya. Fase ini hingga SMA sederajad. Aborsi pun meningkat.
Hiburan malam berupa diskotik, bar,  bioskop, mal, tempat rekreasi turut sibuk menawarkan kenikmatan sesaat. Lalu…. Apakah dalam kondisi ini para pembesar Negara dan orang tua menyalahkan anak???
Penguasa Negeri hendaknya tidak hanya memikirkan devisa Negara atas nama pajak yang dikeluarkan para pengusaha. Namun juga memikirkan nasib generasi muda saat ini. Rokok misalnya. Berawal dari rokoklah pemuda terikut arus dalam narkotika hingga wabah penyakit HIV /AIDS.
Berbagai kritikan dan masukkan pedas sudah banyak terlontarkan baik melalui media massa audio dan audio visual. Ditengah kegersangan etika moral bangsa, seringkali orang tua khawatir akan nasib anaknya di kemudian hari. Teknologi semakin menghantui, bayangan keburukan moral yang semakin hari semakin tidak terkendali.
Kalau  tidak dari sekarang dilakukan perbaikan kapan lagi. Kalau tidak dimulai dari kita siapa lagi. Masyarakat tidak bisa berpangku tangan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Terutama dengan kondisi penguasa  yang penuh dengan liku ambisi di balik kebijakan dan aturan yang diberikan.
Penyadaran masyarakat akan menuntun perbaikan moral secara perlahan. Namun jika masyarakat juga acuh tak acuh terhadap ancaman karakter bangsa yang hilang. Maka  kondisi ini akan menjadi bumerang untuk keberlangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.
 Oleh : Rusmini
Pengurus KAMMI Daerah Medan dan UKMI Ar Rahman UNIMED

0 comments:

Posting Komentar