Indonesia
kaya akan pelopor pendidikan yang menggaungkan peran penting pendidikan
dalam kemajuan Bangsa. Sekitar 12 hari yang lalu R.A Kartini menggema
seantero Negeri atas dedikasi dan jasanya mempelopori pendidikan bagi
perempuan. Begitu pula Ki Hajar Dewantara, beliau lebih muda 10 tahun
dari R.A Kartini. Filosofi sejarah mengukir kebersamaan perjuangan
mereka yang menuntut hak pendidikan untuk rakyat.
Raden Mas Suwardi Suryaningrat adalah
nama asli Ki Hajar Dewantara. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, Soekarno selaku Presiden RI pada
tanggal 28 November 1959 mengangkat beliau sebagai pahlawan nasional. Ki
Hajar Dewantara adalah seorang aktivis pergerakan kemerdekaan
Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.
Hari pendidikan nasional yang jatuh pada
tanggal 2 Mei, merupakan hari kelahiran Pahlawan Pendidikan tersebut.
Kiprahnya dalam memerangi kolonialisme Belanda sangat relevan untuk
diikuti generasi pemuda Indonesia hari ini.
Pijakan karier Ki Hajar Dewantara
diawali dengan sebuah tulisan yang paling terkenal yaitu “Seandainya Aku
Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat
dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, tahun 1913.
“Sekiranya aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
telah kita rampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang
kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin
itu!”
Penggalan artikel di atas adalah yang
sangat pedas untuk kalangan pejabat Hindia- Belanda. Sindiran Ki Hajar
Dewantara tersebut mendapat kecapan dari Gubernur Jenderal Idenburg,
yang pada akhirnya ia ditangkap dan diasingkan di Belanda pada tahun
1913.
Selihai- lihainya tupai melompat akan
jatuh juga. Hal inilah yang dialami kolonial Belanda, kelihaiannya dalam
menjajah Indonesia tersandung batu, ibarat senjata makan tuan. Ki Hajar
Dewantara begita agresif menuntut ilmu dalam keterasingannya atas
hukuman dari Belanda atas perlawanan yang dilakukan. Namun dengan
diasingkan justru menjadi peluang bagi Ki Hajar Dewantara untuk
mempelajari keilmuan.
Usia Ki Hajar Dewantara 24 tahun, dalam
keterasingan. Jiwa pemuda yang terbangun dalam rentang waktu produkrtif
tersebut, ia manfaatkan untuk aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia atau Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Sebagai kaum pribumi Indonesia, beliau
belajar ilmu hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan
yang bergengsi. Latar belakang Indonesia kala itu sangat langka seorang
ilmuan. Kepulangannya di tanah air mendapat sambutan hangat. Ia
mendirikan Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi
jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tidah hanya itu, prestasi Pahlawan
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, juga menciptakan semboyan tut
wuri handayani. Kemudian menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Hal ini dapat diraihnya dengan perjuangan besar dalam mengambil setiap peluang untuk menambah keilmuan dan pantang menyerah.
Refleksi Perjuangan Pemuda
Mengambil hikmah sejarah hidup Pahlawan
Nasional sekelas Ki Hajar Dewantara, begitu banyak pelajaran yang dapat
diambil. Perjuangan yang beliau lakukan tidak terlepas dari usia mudanya
yang produktif dan berani mengambil resiko atas perlawanan penjajahan
yang terjadi. Walaupun di awal- awal perjuangan diasingkan, dihinakan
dan dianggap musuh. Namun pada akhirnya Belanda mengakui dedikasi dan
kualitas dirinya.
Pada masa penjajahan Belanda, para
pribumi jelata tidak diperkenankan mengenyam pendidikan. Kecuali bagi
mereka yang terlahir dari keturunan priyayi atau anak orang Belanda.
Kondisi ini kemudian diperjuangkan Ki Hajar Dewantara yang notabene kala
ini Indonesia belum merdeka.
Wajar jika Belanda memeras Indonesia
dengan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Rempah- rempah, minyak
bumi, laut dan sebagainya. Namun sangat disayangkan, sejak Indonesia
merdeka pada 66 tahun yang lalu, masih saja rakyat negeri ini sengsara.
Lebih sadis saat pejabat negeri ini yang menjajah rakyatnya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum saat berbagai
elemen pejabat Negeri bersekongkol, bahu membahu bukan untuk
mensejahterakan rakyat, namun justru menyengsarakan. Kasus korupsi yang
tebang pilih, makelar proyek pembangunan, money politic dan sederat
kejahatan dengan oknum manusia berdasi lengkap dengan senyum yang sering
terpampang di spanduk jalanan.
Kondisi pendidikan Indonesia berdasaran
data BPS tahun 2010, angka melek huruf laki-laki adalah 95,65. Sedangkan
perempuan hanya 90,52. Selain itu, rata- rata lama sekolah laki-laki
berada pada angka 8,3 tahun dan perempuan 7,5 tahun. Artinya, untuk 9
tahun wajib belajar pun belum memenuhi, apalagi sampai tingkat Perguruan
Tinggi.
Momentum hari pendidikan Nasional
hendaknya dijadikan ledakan perjuangan pemuda Indonesia untuk memerangi
penjajahan pemikiran yang terjadi pada zaman kontemporer. Penjajahan
yang dilakukan Kolonial Belanda secara tidak langsung membuahkan karya
Ki Hajar Dewantara atas kondisi yang menghimpit dan mengancam kehidupan
Bangasa.
Demikian juga pada abad 21 ini, rakyat
Indonesia tidak lagi dijajah secara terang terangan sebagaimana yang
dilakukan penjajahan pada masa dulu. Sekilas kasat mata, status Negeri
ini memang merdeka yang dideklarasikan tanggal 17 Agustus 1945, namun
kemerdekaan yang hakiki belum dapat dirasakan seluruh lapisan
masyarakat.
Mobilitas teknologi mempengaruhi
kebudayaan dan peradaban Indonesia. Perlahan namun pasti, adat ketimuran
Negeri ini tergerus arus budaya Barat yang kehadirannya tidak difilter
oleh anak Bangsa.
Waktu paling efektif kebersamaan
keluarga untuk menonton TV yaitu antara puluk 19.00- 21.00, dipenuhi
dengan anjuran kebiasaan Barat. Anak Bangsa disibukkan dengan model
pakaian seksi, pacaran bahkan sejak tingkat SD, keangkuhan, keegoisan
yang tergambar dari tayangan TV, VCD, Buku dan Majalah yang kebanyakan
menjual tubuh perempuan.
Orang dewasa saja belum tentu dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk dengan melakukan penyaringan
tontonan televisi, apalagi hal ini malah dilihat anak kecil usia 5-19
tahun yang belum memiliki kematangan berfikir. Notabene pemikiran mereka
masih bersih seperti kertas putih. Apapun yang yang diterima, dibaca,
dilihat dan didengar, itulah yanga akan membentuk karakternya.
Saat menerima informasi mereka tidak
lagi menelaah benar atau salahnya informasi, namun langsung
memasukkannya dalam memori otak. Kemudian menjadi landasan berfikir dan
bertindak. Cermin perilaku kerendahan moral anak Bangsa tidak terlepas
dari peran pemerintah dalam memberikan kebijakan menggunaan teknologi
komunikasi agar layak dan memperhatikan kualitas tayangan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh dalam kesempatan pidato hari pendidikan Nasional 2012
mengangkat tema Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Beliau menjelaskan
pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035 kita harus melakukan investasi
besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM)
sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia
merdeka.
Upaya membangkitkan generasi emas
Indonesia tidak hanya cukup dengan menyiapkan akses dunia pendidikan
tanpa diiringi kualitas. Keberhasilan pendidkan bukan seberapa jauh
gelar atau ijazah yang disandang. Namun bagaimana out put karya atas
pembelajaran yang dilakukan melalui jenjang pendidikan untuk
mengentaskan masalah Bangsa.
Oleh : Rusmini
Pengurus Departemen Kebijakan Publik KAMMI Daerah Medan
Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ar Rahman
Mahasiswa Universitas Negeri Medan (UNIMED)
0 comments:
Posting Komentar