Dakwah Yang diridhoi Allah SWT
Sudah lazim diketahui bahwa manusia dikatakan sehat jika dinyatakan sehat dalam tiga hal, yakni sehat fisiknya (raga), sehat pikirannya (rasio) dan sehat hatinya (rasa). Upaya pencegahan (preventive), maupun pengobatan terhadap ketiga unsur sehat tersebut secara integral, menjadi keniscayaan. Begitu pula dengan pendidikan dan dakwah. Pendidikan (tarbiyah) dan dakwah, sudah semestinya memperhatikan pemenuhan tiga unsur tersebut, yaitu kognitif (rasio), afektif (rasa) dan psikomotorik (gerak fisik).
Dalam kaitannya dengan dakwah, seorang da’i tidak boleh mengabaikan pemenuhan kebutuhan orang yang didakwahi (mad’u) dalam bidang fisik, ruhani dan rasio. Hal-hal yang termasuk dalam kategori penjabaran makna fisik ini adalah gerakan dalam arti kegiatan dan amal nyata. Kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan yang terkategorikan fisik ini, bisa menjadikan dakwah tidak mewujud, cenderung menimbulkan kebekuan potensi, pembusukan gagasan, tidak dinamis dan bisa dipastikan akan terjadi kejenuhan bagi mad’u dan da’inya.
Begitu pula jika perhatian pada aspek fisik, materi atau gerakan ini berlebihan, maka secara otomatis akan mengurangi “jatah” yang lain, maka dakwah itu akan keluar dari fitrahnya. Dakwah yang demikian itu justru menjadikan seseorang tidak ada kwalitasnya, sebab bobot dan ruh dakwah tidak menyertainya. Aktifis dakwah yang kebanyakan aktifitas gerakannya, akan menjadi seperti robot, yang tidak tahu lagi hakekat diri dan gerakannya. Dakwahnya cenderung mengarah kepada pemenuhan materi duniawi secara membabi buta, keras hati, rasionya tumpul dan pendek cita-citanya.
Pemenuhan kebutuhan akal secara berlebihan juga akan menjadikan keburukan yang lain. Seorang da’i yang mementingkan aspek rasio secara berlebihan akan mencetak mad’u yang jatuh kepada kecerdasan filsafati, menuhankan rasio, meninggalkan perasaan, baik dan buruk standarnya adalah akal semata dan tidak ada gerakan aplikatif tapi justru cenderung NATO (No Action Talk Only). Namun sebaliknya kekurangan dalam porsi pemikiran (rasio) akan berdampak buruk bagi seseorang, karena dia akan kehilangan daya kritis, analisanya rendah, tidak mengetahui hakekat, dan berwawasan sempit.
Demikian juga jika perhatian pada aspek emosi melalui pendidikan manajemen qalbu melebihi kebutuhan, maka seseorang akan terjerumus pada kesufian yang mengedepankan intuisi dan mengabaikan rasionalitas dan gerak ragawi. Dakwah yang demikan memiliki kecenderungan sufistik dengan gerakan-gerakan tarekat bahkan sebagian terjerumus masuk pula dalam jeratan mistik, klenik, paranormal, perdukunan, dan lain sebagainya. Kasus Ponari (Jombang), bisa dijadikan salah satu studi betapa umat Islam masih banyak yang menjadikan sufistik, kebatinan, paranormal dan luapan emosi sebagai jalan mencari keselamatan hidup.  Namun sebaliknya, jika terjadi kekurangan dalam aspek ini, seseorang kehilangan kepekaan, cenderung individualis, kurang menyentuh, dakwahnya “kering”, batinya ringkih, dan kurang keberanian mengambil keputusan atau pengorbanan.
Bertolak dari paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa tugas dakwah semakin nyata dan terpetakan dengan jelas, yaitu hendaknya dalam setiap aktifitas dakwah bisa memenuhi unsur penyehatan fisik, batin dan akal, secara integral. Sebab arus pementingan terhadap aspek raga (fisik, materi), rasa (emosi, sufistik), dan rasio (akal) secara parsial akan menimbulkan ekstremisme pada satu bidang tertentu dan pada akhirnya menghasilkan hambatan yang disebabkan oleh dikhotomisasi.
Islam adalah agama yang syamil (holistic) dan integral, tidak memisahkan urusan dunia dengan akherat, tidak juga memisahkan urusan batin, pikiran dan badan. Do’a yang diajarkan dalam Al-Qur’an: Rabbana atina fid dun-yaa hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaban naar, menjadi indikator dan sekaligus dasar bahwa harapan hidup muslim sesuai tuntunan Allah SWT adalah kebaikan di dunia dan akherat. Untuk mencapai dua kebaikan itu, tidak mungkin meninggalkan salah satu dari tiga aspek di atas (rasa, rasio dan raga).
Para ulama dalam mendefinisikan iman yang sempurna adalah dengan qaulun bi al-lisan (ucapan lisan), tashdiqun bi al-qalb (pembenaran dalam hati) dan ‘amalun bi al-jawarih (gerakan anggota badan). Ini adalah bukti pemahaman para ulama akan penyatuan unsur-unsur terkait dengan menghindari parsialisasi (pemisahan) antara dakwah dengan rasa (qalb), rasio (qaul) dan raga (jawarih).
Dalam kaitannya dengan jalan dakwah kepada Allah SWT, maka tiada dakwah yang mulia kecuali dakwah yang mengikuti bimbingan dan tuntunan Allah SWT dalam muatan isi dan caranya. Islam adalah jalan hidup yang paripurna, maka sudah pasti memiliki tuntunan dalam menjalani dakwah Islam itu sendiri. Jalan dakwah yang diridhoi Allah SWT adalah jalan dakwah yang tidak menyimpang dari sunnah (tuntunan) Rasulullah SAW baik dalam isi maupun caranya. Meskipun dalam aplikasi teknisnya tidak menutup kemungkinan adanya ruang ijtihadi, manakala ditemukan kondisi yang tidak dikethui dasarnya secara pasti dalam nash (teks) Qur’an maupun Hadits.
Keterangan tentang dakwah yang diridhoi Allah SWT sulit diperinci secara mendetil, sebab ilmu dakwah itu tidak terpisah dari ilmu Islam yang lain. Bahkan jika didetilkan maka bisa terjadi penyempitan, padahal cakupan Islam itu luas, begitu juga dengan dakwah. Pedoman utama bagi da’i dalam hal keridhoan ini adalah jika dia memahami betul dan kemudian berikrar : Rodhitu billahi rabban, wa bil Islaami diinan, wa bi Muhammadin Nabiyyaw wa rasulan – Aku Rela Allah Menjadi Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul.”
***
Ditulis dan disampaikan oleh Rohmadi Ibn Saib, pada silaturahim kader PD IPM Ponorogo, 05 Desember 2009.

0 comments:

Posting Komentar