Bukan Generasi Pecundang

“Ibu, kaulah wanita yang mulia, derajatmu tiga tingkat dibanding ayah. Kau mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh membesarkan putra-putrimu ibu.”
Bagi para penggemar nada religious, diera 90-an, qoshidah pernah mendapat perhatian khusus. Waktu itu, jika Ramadhan datang, salah satu Radio di Ponorogo mengadakan lomba karaoke lagu-lagu qashidah, dan lagu dengan judul “ibu”, yang penggalan syairnya sebagaimana di atas, tidak pernah ketinggalan menjadi salah satu lagu pilihan (favorit) penyanyi juga pendengar.
Jika lagu itu diperdengarkan kembali, mungkin masih banyak yang suka dan bahkan bagi yang mau meresapi, lagu sopan nan merdu tersebut bisa menjadi “obat” kenakalan remaja masa kini. Menurut sebagian orang, mungkin statemen ini terlalu berlebihan dan mengada-ada. “Bagaimana mungkin lagu bisa menjadi pengubah kondisi?” demikian kira-kira ungkapan sederhananya.
Sebenarnya tidak demikian, sebab jika mau meneliti lebih seksama, anak-anak SLTP-SLTA yang “tertangkap basah” di dunia gemerlap (dugem) kafe remang-remang, sambil melakukan free seks dan menenggak minuman memabukkan, sebagaimana yang diberitakan media informasi bulan-bulan ini, tidak lepas dari pengaruh lagu yang mereka dengarkan.
Memang, lagu memiliki posisi tersendiri di hati dan pikiran para remaja bahkan orang tua. Lagu yang didengarkan akan sangat cepat dihafalkan dan lambat laun memori mereka dipenuhi dan dipengaruhi dengan nada, isi lagu dan gaya panyanyinya. Sayangnya penelitian tentang seberapa besar pengaruh lagu terhadap pola dan gaya hidup kurang diminati oleh para peneliti, LSM bahkan pemerintah yang secara khusus memiliki tanggungjawab menjaga moral rakyatnya. Para peneliti “bayaran” pemerintah lebih senang meneliti masalah “radikalisme”, jihad dan semisalnya, yang bisa jadi pengaruhnya tidak terhadap remaja tidak sedahsyat masalah lagu.
Terlepas pro-kontra masalah lagu, apakah boleh atau tidak menurut agama, khususnya menurut fiqh islam -karena mayoritas Indonesia beragama Islam, para pendidik, orang tua, LSM, lembaga pendidikan perlu memberikan perhatiannya terhadap “konsumsi” lagu para remaja di sekitarnya dan di wilayah tanggungjawabnya. Karena lagu bisa saja menjadi sarana pendidikan, tapi bahkan bisa juga menjadi sarana penghancur peserta didik dan citra lembaga pendidikan. Pernyataan ini tidak berlebihan, sebab tak jarang ketika mendengar lagu seseorang bisa menangis, karena memang lirik dan musiknya melankolis. Tetapi ada juga yang ketika mendengar lagu, seseorang bisa menjadi berjingkrak full power, karena memang lirik dan musiknya menggugah gairah pengdengarnya.
Uniknya, di dunia permusikan telah terjadi pergeseran paham mengenai lagu-lagu bernuansa religi. Dulu, qashidah, nasyid atau lagu-lagu bernuansa religi selalu ditampilkan dengan kalem, cool dan penuh kesopanan. Sekarang kondisinya berbalik 1800, lagu-lagu bernuansa religi ditampilkan dengan urakan dan tak jarang menyelisihi muatan (isi kandungan) lagu itu sendiri. Efeknya, lagu yang dahulunya dikemas sebagai hiburan dan sarana pendidikan, pada kenyataanya justru menjadi sarana maksiat dan kemungkaran. Jika kondisi seperti ini berlanjut, bukan tidak mungkin, ayat-ayat al-Qur’an pada saatnya dilantunkan dengan gaya penyanyi underground, karena di dalam al-Qur’an terdapat nilai seninya. Sehingga sakralitas itu tidak lagi ada.
Mengapa pergeseran itu terjadi? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu tidak mudah, tetapi secara garis besar penyataan Ibn Khaldun (1332-1406M) berikut dapat direnungkan maknanya. Ibn Khaldun menyatakan: “Al-Maghlub mula-un abadan bi l-iqtida’ bi l-ghalib fi syi’arihi wa ziyyihi wa nihlatihi wa sa-iri ahwalihi wa ‘awa-idihi…” (Si Pecundang selalu meniru yang mengalahkannya, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama dan seluruh gaya dan adat istiadatnya …).
Jika pernyataan Ibn Khaldun tersebut diambil untuk menjadi jawaban pertanyaan di atas, serta menjawab problem pergeseran cita-rasa lagu masa kini, pergeseran model, perubahan gaya hidup, adat-istiadat, bahkan peri kemanusiaan remaja dan masyarakat sekarang, tidaklah terlalu salah jawabanya. Semua itu kembali kepada mental pecundang yang selalu ingin mengikuti yang kuat.
Sekarang ini, penguasa peradaban adalah dunia Barat. Maka pantaslah bila sebagian anak-anak remaja sekarang meniru peradaban Barat, mulai dari gaya, mode, musik, peri kemanusiaan, standar kebaikan, pemikiran bahkan agamanya, meniru kehidupan Barat. Dalam bidang pembangunan fisik, ilmu eksakta, sistem telekomunikasi dan hal-hal yang tidak mengandung unsur gaya hidup (way of live), pemikiran dan prinsip keagamaan, tidak mengapa meminjam pada Barat. Karena memang bukan tidak boleh meminjam beberapa hal milik Barat untuk kemajuan Timur, tetapi yang namanya meminjam, tidak boleh lupa untuk mengembalikan.
Persoalanya sekarang, dari mana mereka mendapatkan didikan menjadi “pecundang” dengan mengikuti peradaban Barat tersebut? Jika mengingat kembali sya’ir qashidah di atas, maka tidak menutup kemungkinan, faktor ibu bisa menjadi jalan masuknya idiologi Barat ke dalam keyakinan dan sistem hidup anak-anaknya.
Mengapa demikian? Karena menurut syair tersebut, seorang ibu itu ditinggikan derajatnya di atas laki-laki (bapak) adalah karena “mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, membesarkan” putra-putrinya. Nah, jika diteliti kembali, betapa banyak ibu jaman sekarang yang tugasnya hanya sampai mengandung, melahirkan, menyusui. Ketika harus mengasuh, mereka sibuk dengan usaha dan pekerjaanya dan tidak jarang mereka menyerahkan pengasuhanya kepada televisi, angkringan, warung remang-remang, dugem, mall-mall, warnet dan tempat-tempat yang “mengajarkan” budaya Barat secara serampangan.
Di sisi lain, ketika seorang ibu harus membesarkan anaknya, mereka hanya membesarkan fisik anaknya dengan mengirimkan uang dari luar negeri karena sang ibu menjadi TKW, sedangkan jiwa anaknya “dibesarkan” oleh majalah-majalah porno, lingkungan free seks dan area sekuler lainya.
Mungkinkah para ibu lupa memperhatikan pepatah: “al-Ummahaat madrastul uula – ibu-ibu itu merupakan madrasah pertama (bagi anak-anaknya).” Sebelum menjatuhkan kepercayaan kepada sekolah, lingkungan dan teman-teman bergaul, yang secara tidak langsung bisa menjadi “madrasah” bagi anak-anaknya, seorang ibu mesti memposisikan diri sebagai “madrasah” yang kuat dan kokoh. Seorang ibu bertanggungjawab mendidik anak-anaknya agar tidak menjadi generasi “pecundang” dengan mengekor pada peradaban Barat tanpa filter. Jika ibu bisa membentengi anak-anaknya, maka layaklah do’a sang anak sholeh itu sampai kepadanya kelak ketika sang ibu telah meninggal dunia. Semoga!
*) Ditulis Oleh: Rohmadi Ibn Saib, Koordinator Komunitas PENA MUDA dan Direktur Pondok Tahfizhul Qur'an Ahmad Dahlan Ponorogo.

0 comments:

Posting Komentar