923344_511185082282368_522428880_n

Menjadi soleh saja, tidak cukup. Agaknya belakangan sering terdengar dan terkemuka tentang hal ini dalam hidup. Soleh dengan segala fasilitas lingkungan yang mendukung bisa saja menjadi nilai yang memudahkan dan melancarkan usaha dan prosesnya menuju hal tersebut. Namun, jika seorang atau sekelompok insan yang soleh di bawah tekanan?
Mungkin tak lagi asing di telinga kita bagaimana perjuangan sosok seperti Hasan al Banna, Sayyid Quthb, bahkan para manusia teladan yakni para nabi dan rasul seperti Musa, Isa, Ibrahim, Nuh, hingga Muhammad SAW. mereka adalah orang soleh. Pasti. Namun, soleh mereka tida semata bentukan lingkungan yang kondusif hingga kesolehannya menumbuh dengan mulus.
Para teladan itu mendapati kesempatan untuk menempa diri mereka hingga kesolehan yang didapat adalah kesolehan yang kuat, tahan baja, awet, dan kesolehan menaungi yang memimpin. Artinya, mereka benar-benar berkesempatan memproses hidupnya dengan keras yang menghasilkan soleh yang berpengaruh.
Agaknya tak perlu lagi kita ragu untuk terus menempa diri dalam kehidupan yang keras. Menjadi soleh di sebuah comfort zone di mana banyak manusia mendukung di dalamnya, banyak fasilitas, dan adem ayem tanpa musuh teranglah berbeda dari usaha mensolehkan diri dan masyarakat yang keras, sedikit pembela, bahkan merintis, banyak musuh, dan minim fasilitas. Seseorang yang berada dalam kondisi tidak nyaman demikian akan terstimulus untuk lebih kreatif dan lebih cerdas dalam berstrategi hidup. Mau tak mau, ia akan mengeluarkan effort lebih untuk bertahan dan lebih lagi untuk menjadi pemimpin di zona kerasnya.
Seseorang dalam kondisi serba tak nyaman, akan satu atau bahkan seribu langkah lebih terdepan daripada mereka yang berada dalam buaian ‘istana’. Ia akan memikirkan bagaimana bertahan bahkan menyerang dengan aneka keterbatasan yang dimilikinya. Ia akan sering mencoba berbagai strategi. Ia akan sering jatuh, terperosok, namun kemampuannya untuk bangkit jauh lebih unggul.

Mungkin, mudah saja mengkonsistenan amalan yaumiah manakala tak ada beban ini dan itu. mungkin, mudah saja mempertahankan dan menambah hapalan saat banyak kawan di sisi. Mungkin, nyaman saja untuk bertahajud ria di kondisi aman nan damai. Mungkin, lancar saja merekrut ratusan pasukan karena banyak kawan. Tapi mempertahankan hapalan dan berjuang menambahnya di lingkungan kritis, menciptakan mini pasukan namun tangguh, mempertahankan dan menyerang di arena segala keterbatasan adalah jauh lebih menantang namun melahirkan jiwa bermental matang.
Seseorang yang mampu hidup dalam kondisi tertekan akan menjadi pemimpin yang visioner. Ia berlepas diri dari urusan pribadinya dan malah memberikan porsi untuk orang lain dan lingkungan lebih besar. Ia tidak lagi banyak menuntut keadaan, meminta dan merengek ini itu. Ia tangguh dan tahan banting.
Akhirnya, semestinya mental inilah yang dimiliki da’I saat ini. Mungkin tidak semua berkesempatan berada dalam lingkungan homogen di mana didapati banyak pendukung. Justru, lingkungan dan tempat juang sejati adalah di tempat yang keras karena darinya kita dapati ragam pembelajaran yang langka lagi berharga. Kesolehan yang tercipta dari habitus keras penuh tantangan adalah kesolehan yang berdaya guna, bukan semata dinikmati seorang diri.
NB : Tulisan ini dedikasikan untuk para petarung sejati yang bertempur dengan keras dan jujur di dunia maya dan realita

Penulis : Sofistika Carevy Ediwindra
Sekertaris Umum Kammi Komisariat Madani
Sumber : http://kammimadani.wordpress.com/2013/06/08/di-bawah-tekanan-sebuah-kriteria/#more-2533
 

1 comments: