Oleh : Jusman Dalle
***
Telah menjadi cerita klasik, kenaikan harga BBM kerap kali diikuti kenaikan semua harga kebutuhan masyarakat. Bukan hanya karena memang kebutuhan tersebut berkorelasi dengan kenaikan biaya transportasi atau biaya-biaya lainnya, akan tetapi juga disebabkan oleh ulah nakal para spekulan yang memanfaatkan kesempatan meraup untung.
Dari kalkulasi ekonomi, meminjam data Reforminer Institute, kenaikan BBM bisa menyebabkan tambahan inflasi hingga 2,14 persen (menjadi plus-minus 7 persen). Inflasi sudah barang tentu menggangu performance ekonomi nasional. Daya beli masyarakat menurun sebagai akibat dari naiknya harga-harga barang dan terkoreksinya nilai uang.
Permintaan (demand) pasti ikut terkoreksi sehingga income industry barang dan jasa terkait, mengalami penururnan. Efeknya, untuk efisiensi dan menghindari over stock, industri terpaksa menurunkan produksi mereka. Hal ini tentu menyebabkan berkurangnya kebutuhan dan permintaan tenaga kerja sehingga bisa berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PKH) dan moratorium penerimaan tenaga kerja yang berarti masalah sosial baru, pengangguran. Lebih jauh, menurunnya income perusahaan juga berpengaruh pada penerimaan kas negara dari sektor pajak.
Angka kemiskinan juga semakin bertambah seiring limitasi akses masyarakat pada faktor-faktor produksi yang menyebabkan produktifitas mereka menurun. Kelompok penduduk kategori hampir miskin yang berjumlah 27,8 juta jiwa akan terjerembab ke jurang kemiskinan. Selama ini kelompok penduduk hampir miskin bertahan dari jerat kemiskinan dengan mengandalkan pekerjaan pada sektor non formal. Padahal, kenaikan harga BBM justru akan memukul sektor non formal ini (selain menyebabkan harga-harga naik).
Menurut BPS, pangan dan rokok berperan besar dalam memengaruhi kemiskinan di Indonesia. Kenaikan harga beras menyebabkan penduduk miskin bertambah sebesar 25,45% untuk perkotaan dan 32,81% di pedesaan. Artinya akan ada orang miskin baru di negeri ini yang diakibatkan oleh kebijakan tak pro rakyat, menaikkan harga BBM.
Sementara kompensasi tidak efektif untuk meringankan beban rakyat. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sifatnya jangka pendek, tak mungkin terus menerus diterapkan. Pemberian kompensasi bahkan justru menjadi sketsa paradoks kebijakan kenaikan BBM yang tujuan awalnya untuk menyelamatkan anggaran dari pembengkakan. Berikut penjelasannya.
Dari hasil simulasi Soceity Reserach and Humanity Development (SERUM) Institute Jika kompensasi kenaikan BBM diberikan kepada 30,02 juta jiwa penduduk miskin dan 27,8 juta jiwa penduduk hampir miskin masing-masing sebesar Rp. 150.000,00, per bulan sebagaiamana dikatakan Menteri ESDM, maka negara harus merogoh aggaran sebesar Rp. 8,65 triliun setiap bulan atau sebesar Rp. 103,8 triliun setiap tahun. Jikapun hanya memberikan per kepala keluarga (menurut pemerintah, nantinya ada 18,5 juta penerima BLSM), sangat tidak masuk akal Rp. 150.000,00 cukup memenuhi kebutuhan 3 orang anggota keluarga dalam sebulan (angka empat orang diperoleh dari 58 juta penduduk yang seharusnya menerima BLSM dibagi 18,5 juta penerima). Angka tersebut di luar penduduk miskin baru yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Menurut BPS, akan ada tambahan 25 persen penduduk msikin baru dengan kenaikan harga BBM tersebut.
Salah seorang rekan yang menjadi petugas lapangan di daerah Depok dalam pendataan dan penyaluran BLSM tahun 2012 ini, berkisah bahwa di daerah Depok untuk kebutuhan non pangan seperti transportasi, listrik dan pemukiman standarnya sekitar Rp. 56,000 perhari. Sementara untuk kebutuhan makanan pokok, pemerintah mematok sebesar Rp. 6.000 per hari per orang. Artinya setiap orang membutuhkan Rp. 62.000 per hari atau Rp. 1.860.000 perhari.
Jika kemudian pemerintah memberi kompensasi dengan hitungan per kepala sebesar Rp. 150.000, selain tidak rasional memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, juga akan lebih boros ketimbang mempertahakan harga (subsidi) BBM pada harga saat ini. Karena menaikkan harga minyak sebesar Rp. 1.500,00 per liter hanya menghemat Rp. 57,45 triliun.
Tidak efektifnya kebijakan kompensasi juga disebabkan oleh potensi korupsi yang membayangi karena buruknya birokrasi kita. Bahkan, kompensasi tersebut juga hanya menjadi alat pencitraan politik penguasa jelang pemilu 2014. Partai berkuasa memanfaatkan mencitrakan diri sebagai partai pro rakyat.
Tak menutup kemungkinan, di waktu-waktu mendatang kita akan kembali bergelut dengan masalah serupa karena kebijakan yang diambil tidak solutif dan tidak menyentuh akar masalah. Kebijakan menaikkan harga dan kompensasi sifatnya jangka pedek (short term policy).
Solusi Kongkrit
Oleh karena itu, pemerintah semestinya membaca persoalan kenaikan harga BBM ini secara komprehensif dan menawarkan solusi berupa kebijakan jangka panjang (long term policy). Ada beberapa alternatif solusi.
Pertama, diversifikasi bahan bakar. Data dari BP Migas mengatakan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya 4 miliar barel dan akan habis dalam jangka 12 tahun kedepan. Artinya jika masih bergantung pada BBM, maka pada tahun 2024 Indonesia 100 persen menggunakan BBM impor yang pasti akan sangat mahal karena mengacu pada harga pasar minyak internasional.
Pemerintah seharusnya mengoptimalkan sisa waktu untuk mendorong riset pengembangan bahan bakar non minyak. Banyak alternatif sumber energi, seperti panas bumi (geothermal), gas alam, bioetanol, biodiesel, panel surya, bahkan dengan menggunakan air seperti temuan siswa SMK Langsa, Aceh.
Untuk memanfaatkan energi alternatif tersebut, tentu butuh SDM yang handal. Salah satu cara melahirkan SDM kompetitif di bidang energi adalah dengan menggalakkan riset agar ada temuan-temuan baru atau mematangkan temuan yang telah ada. Namun hasanya, ternyata anggaran riset juga tidak mendukung. Hanya 0,08 persen dari PDB. Maka anggaran riset yang sangat sangat kecil tersebut harus diungkit.
Kedua, pemerintah harus tegas kepada pengguna mobil pribadi yang selama ini menikmati 45,72 persen dari 99,40 persen konsumsi BBM bersubsidi angkutan darat (Data BP Migas dan Pertamina, 2011). Para pengguna mobil pribadi yang umumnya berasal dari kelas menengah atas ini perlu dibuatkan regulasi yang mewajibkan penggunaan BBM non subsidi.
Ketiga, untuk mengurangi konsumsi BBM kendaraan roda dua yang banyak digunakan masyarakat ekonomi menengah bawah beraktifitas sehari-hari, maka perlu disiapkan sarana transportasi umum (massal) yang cepat, nyaman dan murah. Pengguna sepeda motor dengan konsumsi BBM sebesar 38,76 persen adalah akibat tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai sehingga masyarakat menggunakan kendaraan roda dua.
Keempat, pemerintah semestinya memangkas anggaran belanja yang tidak tepat sasaran serta menciptakan tata pemerintahan yang bersih menghindari kebocoran anggaran. Dana dari efisiensi anggaran tersebut bisa dialihkan ke program pro rakyat. Salah satunya untuk subsidi BBM serta alokasi riset pengembangan energi alternatif agar tak melulu ribut ketika harga minyak dunia naik (kedaulatan energi).
Pada akhirnya, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat, harus dipertimbangkan kembali. Jangan sampai pemerintah mengelolah negara dengan mindset bisnis atau ibarat perusahaan (korporatokrasi) sehingga hanya mempertimbangkan untung rugi pada sisi pemerintah saja.
Subsidi kepada rakyat bukanlah kerugian yang menjustifikasi apologi pemerintah untuk lepas tangan, hanyut oleh mainstream ekonomi neoliberal dengan mengikuti trend lonjakan harga minyak dunia. Karena ketika pemerintah lepas tangan dan mengorbankan rakyat, itu sama saja jika negara tak hadir di tengah problem yang mendera. Lantas, dimana amanat konstitusi yang memosisikan negara sebagai payung besar bagi seluruh kepentingan bangsa?
*Tulisan ini diadaptasi dari tulisan berjudul Pailit Minyak Negeri Otopilot yang diterbitkan oleh Koran Fajar edisi Senin (19/3)
KETERANGAN :
Penulis adalah Analis Ekonomi Politik Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute
Humas PP KAMMI
Telah menulis ratusan artikel di berbagai media massa nasional dan lokal
Follow Twitter @Jusdalle
Sumber : kammi.or.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar